Jumat, 15 Maret 2019

LITERASI DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR


LITERASI DALAM PEMBELAJARAN
DI SEKOLAH DASAR
Literasi tidak terpisahkan dari dunia pendidikan. Literasi menjadi sarana peserta didik dalam mengenal, memahami, dan menerapkan ilmu yang didapatkannya di bangku sekolah. Literasi juga terkait dengan kehidupan peserta didik, baik di rumah maupun di lingkungan sekitarnya untuk menumbuhkan budi pekerti mulia. Literasi pada awalnya dimaknai 'keberaksaran' dan selanjutnya dimaknai 'melek' atau 'keterpahaman'. Pada langkah awal, “melek baca dan tulis" ditekankan karena kedua keterampilan berbahasa ini merupakan dasar bagi pengembangan melek dalam berbagai hal.
Peta jalan Gerakan Literasi Nasional Kemendikbud (2017) mendefinisikan literasi sebagai:
  1. suatu rangkaian kecakapan membaca, menulis, dan berbicara, kecakapan berhitung, dan kecakapan dalam mengakses dan menggunakan informasi;
  2. sebagai praktik sosial yang penerapannya dipengaruhi oleh konteks;
  3. sebagai proses pembelajaran dengan kegiatan membaca dan menulis sebagai medium untuk merenungkan, menyelidik, menanyakan, dan mengkritisi ilmu dan gagasan yang dipelajari; dan
  4. sebagai pemanfaatan teks yang bervariasi menurut subjek, genre,dan tingkat kompleksitas bahasa. 
Menurut Word Economic Forum (2016), peserta didik memerlukan 16 keterampilan agar mampu bertahan di abad XXI,  yakni literasi dasar (bagaimana peserta didik menerapkan keterampilan berliterasi untuk kehidupan sehari-hari), kompetensi (bagaimana peserta didik menyikapi tantangan yang kompleks), dan karakter (bagaimana peserta didik menyikapi perubahan lingkungan mereka). Dalam lingkup karakter, penguatan pendidikan karakter (PPK) di Indonesia mengacu pada lima nilai utama, yakni (1) religius, (2) nasionalis, (3) mandiri, (4) gotong royong, (5) integritas (Depdikbud, 2016).

Nilai karakter ini dapat terwujud melalui upaya untuk meningkatkan kecakapan multiliterasi peserta didik pemahaman multiliterasi, dengan fokus pada literasi baca-tulis, literasi budaya dan kewargaan, literasi sains, literasi numerasi, literasi digital, dan literasi finansial. Adapun pembelajaran yang bersifat multiliterasi ini memadukan karakter dengan penekanan pada lima karakter PPK di atas serta kompetensi abad ke-21 yang mengembangkan kreativitas, kecakapan berpikir kritis, kemampuan komunikasi, serta kolaborasi. Semuanya ini diharapkan dapat menjadi bekal kecakapan hidup  sepanjang hayat. Keterkaitan antara multiliterasi, kompetensi abad ke-21, dan nilai karakter utama ini adalah sebagai berikut.










Saat ini kegiatan di sekolah ditengarai belum optimal mengembangkan kemampuan literasi warga sekolah khususnya guru dan siswa. Hal ini disebabkan antara lain oleh minimnya pemahaman warga sekolah terhadap pentingnya kemampuan literasi dalam kehidupan mereka serta minimnya penggunaan buku-buku di sekolah selain buku-teks pelajaran. Kegiatan membaca di sekolah masih terbatas pada pembacaan buku teks pelajaran dan belum melibatkan jenis bacaan lain.
Pada sisi lain, hasil beberapa tes yang telah dilakukan adalah sebagai berikut.


PIRLS atau Progress International Reading Literacy Study (PIRLS) mengevaluasi kemampuan membaca peserta didik kelas IV. PISA atau Programme for International Student Assessment mengevaluasi kemampuan peserta didik berusia 15 tahun dalam hal membaca, matematika, dan sains. INAP atau Indonesia National Assassment  Program (INAP) mengevaluasi kemampuan siswa dalam hal membaca, matematika, dan sains.

Data ini selaras dengan temuan CCSU (2017) terkait negara paling literat di dunia (World’s Most Literate Nation) yang menempatkan Indonesia pada peringkat 60 dari 61 negara yang disurvei. Survei yang mengukur indeks ketersebaran informasi dan budaya masyarakat dalam menggunakan informasi melalui surat kabar, informasi digital dan perpustakaan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum melek informasi.  Kondisi ini jelas memprihatinkan karena terkait dengan kemampuan kemampuan dan memahami bacaan sebagai dasar bagi pemerolehan pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan sikap peserta didik. Oleh sebab itu, dibentuklah Satuan Tugas Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai salah satu alternatif untuk menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat (Wiedarti dan Kisyani-L. ed., 2016).

Upaya sistematis dan berkesinambungan perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa. GLS untuk menumbuhkan minat baca dan kecakapan literasi telah dicanangkan sejak tahun 2016, namun saat ini belum terlalu menyentuh aspek pembelajaran di kelas. Beberapa panduan terkait GLS telah diterbitkan tahun 2016 oleh Dikdasmen Kemendikbud, yakni (1) Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah, (2) Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar, (3) Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Pertama, (4) Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa, (5) Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Atas; (6) Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Menengah Kejuruan, (7) Buku Saku Gerakan Literasi Sekolah, (8) Manual Pendukung Gerakan Literasi Sekolah untuk Jenjang Sekolah Menengah Pertama. Saat ini, GLS perlu disempurnakan dengan panduan teknis dan pelatihan atau penyegaran untuk memampukan guru melaksanakan strategi literasi dalam pembelajaran.

Salah satu pelatihan tersebut adalah pelatihan dan/atau penyegaran instruktur Kurikulum 2013. Materi yang disajikan terutama menekankan pada peningkatan keterampilan mengelola pembelajaran dengan strategi literasi untuk meningkatkan kecakapan multiliterasi siswa, membentuk karakter, dan mengembangkan kompetensi abad ke-21. 

Materi penyegaran Kurikulum 2013 ini terwujud dalam bentuk modul, materi presentasi, dan alat bantu berwujud pengatur grafis yang memandu aktivitas peserta untuk mendalami dan mengimplementasi strategi literasi dalam pembelajaran. Semua perangkat ini diharapkan dapat memandu instruktur dan pemangku kepentingan di jenjang nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan sekolah dalam pelaksanaan, pengembangan, dan penguatan strategi literasi dalam pembelajaran.

Tujuan penyusunan materi ini adalah untuk:
1.   Memberikan inspirasi kepada peserta pelatihan untuk memanfaatkan beragam sumber belajar, termasuk buku-teks-pelajaran dan buku-nonteks-pelajaran dalam pembelajaran.
2.   Meningkatkan pemahaman siswa terhadap bacaan,  kemampuan berpikir siswa, dan kecakapan komunikasi siswa.

Masalah 1
Pengembangan kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan literasi khususnya mengembangkan minat baca belum berjalan secara optimal di sekolah karena beberapa guru memiliki pemahaman berbeda atau kurang memadai tentang literasi. Guru seharusnya dapat menjadi teladan yang baik bagi siswanya. Saat guru meminta siswa membaca, guru pun juga perlu membaca untuk memberi contoh yang baik bagi siswanya.  Tradisi literasi (kemampuan komunikasi yang artikulatif secara verbal dan tulisan serta kemampuan menyerap informasi melalui bacaan) juga belum tumbuh secara koheren dalam diri beberapa guru. 

Masalah 2
Upaya untuk menyosialisasikan dan meningkatkan kemampuan literasi di sekolah belum membuahkan hasil yang optimal karena kurangnya pendampingan dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan literasi guru. Selain itu, materi ajar dan bahan bacaan yang tersedia di sekolah belum dimanfaatkan secara optimal untuk mengembangkan kemampuan literasi siswa.

Guru perlu memahami bahwa upaya pengembangan literasi tidak berhenti ketika anak dapat membaca dengan lancar. Pengembangan literasi perlu terjadi pada pembelajaran di semua mata pelajaran melalui upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir analitis, kritis, kreatif, dan memecahkan masalah. Para guru perlu memasukkan strategi literasi dalam pembelajarannya. Pengembangan kemampuan literasi di sekolah akan membantu meningkatkan kemampuan belajar siswa. Penggunaan bacaan atau bahan ajar yang bervariasi, disertai dengan perencanaan yang baik dalam kegiatan pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan kemampuan literasi siswa. 

Beers, C. S., Beers, J. W., & Smith, J. O. (2009). A Principal’s Guide to Literacy Instruction. New York: Guilford Press.
Robb, L. 2003. Teaching Reading in Social Studies, Science, and Math: Practical Ways to Weave Comprehension Strategies Into Your Content Area Teaching. New York: Scholastic Professional Books.
Pusat Bahasa,  2005.  Seri Glosarium: Glosarium Pendidikan. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.
Wiedarti, Pangesti dan Kisyani-Laksono (ed.). 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Dikdasmen, Kemdikbud.
Wilson, A.A. and Chavez, K.J. 2014. Reading and Representing Across the Content Areas: A Clasroom Guide. New York:  Teachers College Press, Columbia University.
Satgas GLS Ditjen Dikdasmen, 2016a.Strategi Literasi dalam Pembelajaran
 di Sekolah Dasar (Modul Materi Penyegaran Instruktur Kurikulum 2013)”. Jakarta.
Satgas GLS Ditjen Dikdasmen, 2016b.Strategi Literasi dalam Pembelajaran di Sekolah Menengah Atas”. Jakarta.
Tim GLN Kemendikbud, 2017. “Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional”. Jakarta.

Sabtu, 10 Maret 2012

Jumat, 02 Maret 2012

Penilaian Hasil Belajar Siswa

Penilaian Hasil Belajar Siswa
A. Pengertian Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian (Assessment)
Banyak orang mencampuradukkan pengertian antara evaluasi, pengukuran (measurement), tes, dan penilaian (assessment), padahal keempatnya memiliki pengertian yang berbeda. Evaluasi adalah kegiatan identifikasi untuk melihat apakah suatu program yang telah direncanakan telah tercapai atau belum, berharga atau tidak, dan dapat pula untuk melihat tingkat efisiensi pelaksanaannya. Evaluasi berhubungan dengan keputusan nilai (value judgement). Stufflebeam (Abin Syamsuddin Makmun, 1996) memengemukakan bahwa : educational evaluation is the process of delineating, obtaining,and providing useful, information for judging decision alternatif . Dari pandangan Stufflebeam, kita dapat melihat bahwa esensi dari evaluasi yakni memberikan informasi bagi kepentingan pengambilan keputusan. Di bidang pendidikan, kita dapat melakukan evaluasi terhadap kurikulum baru, suatu kebijakan pendidikan, sumber belajar tertentu, atau etos kerja guru.
Pengukuran (measurement) adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu.
Penilaian (assessment) adalah penerapan berbagai cara dan penggunaan beragam alat penilaian untuk memperoleh informasi tentang sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian kemampuan) peserta didik. Penilaian menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar seorang peserta didik.Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka). Pengukuran berhubungan dengan proses pencarian atau penentuan nilai kuantitatif tersebut.
Tes adalah cara penilaian yang dirancang dan dilaksanakan kepada peserta didik pada waktu dan tempat tertentu serta dalam kondisi yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang jelas.
Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas, penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik, mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik/perbaikan proses belajar mengajar, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar peserta didik, guru, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta didik dan upaya bimbingan yang diperlukan serta keberadaan kurikukulum itu sendiri.
B. Tujuan Penilaian
Penilaian memiliki tujuan yang sangat penting dalam pembelajaran, diantaranya untuk grading, seleksi, mengetahui tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, diagnosis, dan prediksi.
  1. Sebagai grading, penilaian ditujukan untuk menentukan atau membedakan kedudukan hasil kerja peserta didik dibandingkan dengan peserta didik lain. Penilaian ini akan menunjukkan kedudukan peserta didik dalam urutan dibandingkan dengan anak yang lain. Karena itu, fungsi penilaian untuk grading ini cenderung membandingkan anak dengan anak yang lain sehingga lebih mengacu kepada penilaian acuan norma (norm-referenced assessment).
  2. Sebagai alat seleksi, penilaian ditujukan untuk memisahkan antara peserta didik yang masuk dalam kategori tertentu dan yang tidak. Peserta didik yang boleh masuk sekolah tertentu atau yang tidak boleh. Dalam hal ini, fungsi penilaian untuk menentukan seseorang dapat masuk atau tidak di sekolah tertentu.
  3. Untuk menggambarkan sejauh mana seorang peserta didik telah menguasai kompetensi.
  4. Sebagai bimbingan, penilaian bertujuan untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik dalam rangka membantu peserta didik memahami dirinya, membuat keputusan tentang langkah berikutnya, baik untuk pemilihan program, pengembangan kepribadian maupun untuk penjurusan.
  5. Sebagai alat diagnosis, penilaian bertujuan menunjukkan kesulitan belajar yang dialami peserta didik dan kemungkinan prestasi yang bisa dikembangkan. Ini akan membantu guru menentukan apakah seseorang perlu remidiasi atau pengayaan.
  6. Sebagai alat prediksi, penilaian bertujuan untuk mendapatkan informasi yang dapat memprediksi bagaimana kinerja peserta didik pada jenjang pendidikan berikutnya atau dalam pekerjaan yang sesuai. Contoh dari penilaian ini adalah tes bakat skolastik atau tes potensi akademik.
Dari keenam tujuan penilaian tersebut, tujuan untuk melihat tingkat penguasaan kompetensi, bimbingan, dan diagnostik merupakan peranan utama dalam penilaian.
Sesuai dengan tujuan tersebut, penilaian menuntut guru agar secara langsung atau tak langsung mampu melaksanakan penilaian dalam keseluruhan proses pembelajaran. Untuk menilai sejauhmana siswa telah menguasai beragam kompetensi, tentu saja berbagai jenis penilaian perlu diberikan sesuai dengan kompetensi yang akan dinilai, seperti unjuk kerja/kinerja (performance), penugasan (proyek), hasil karya (produk), kumpulan hasil kerja siswa (portofolio), dan penilaian tertulis (paper and pencil test). Jadi, tujuan penilaian adalah memberikan masukan informasi secara komprehensif tentang hasil belajar peserta didik, baik dilihat ketika saat kegiatan pembelajaran berlangsung maupun dilihat dari hasil akhirnya, dengan menggunakan berbagai cara penilaian sesuai dengan kompetensi yang diharapkan dapat dicapai peserta didik.
C. Pendekatan Penilaian
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian hasil belajar, yaitu penilaian yang mengacu kepada norma (Penilaian Acuan Norma atau norm-referenced assessment) dan penilaian yang mengacu kepada kriteria (Penilaian Acuan Kriteria atau criterion referenced assessment). Perbedaan kedua pendekatan tersebut terletak pada acuan yang dipakai. Pada penilaian yang mengacu kepada norma, interpretasi hasil penilaian peserta didik dikaitkan dengan hasil penilaian seluruh peserta didik yang dinilai dengan alat penilaian yang sama. Jadi hasil seluruh peserta didik digunakan sebagai acuan. Sedangkan, penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan, interpretasi hasil penilaian bergantung pada apakah atau sejauh mana seorang peserta didik mencapai atau menguasai kriteria atau patokan yang telah ditentukan. Kriteria atau patokan itu dirumuskan dalam kompetensi atau hasil belajar dalam kurikulum berbasis kompetensi.
Dalam pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi, pendekatan penilaian yang digunakan adalah penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan. Dalam hal ini prestasi peserta didik ditentukan oleh kriteria yang telah ditetapkan untuk penguasaan suatu kompetensi. Meskipun demikian, kadang kadang dapat digunakan penilaian acuan norma, untuk maksud khusus tertentu sesuai dengan kegunaannya, seperti untuk memilih peserta didik masuk rombongan belajar yang mana, untuk mengelompokkan peserta didik dalam kegiatan belajar, dan untuk menyeleksi peserta didik yang mewakili sekolah dalam lomba antar-sekolah.
D. Ruang Lingkup Penilaian Hasil Belajar
Hasil belajar peserta didik dapat diklasifikasi ke dalam tiga ranah (domain), yaitu: (1) domain kognitif (pengetahuan atau yang mencakup kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika – matematika), (2) domain afektif (sikap dan nilai atau yang mencakup kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi, dengan kata lain kecerdasan emosional), dan (3) domain psikomotor (keterampilan atau yang mencakup kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, dan kecerdasan musikal).
Sejauh mana masing-masing domain tersebut memberi sumbangan terhadap sukses seseorang dalam pekerjaan dan kehidupan ? Data hasil penelitian multi kecerdasan menunjukkan bahwa kecerdasan bahasa dan kecerdasan logika-matematika yang termasuk dalam domain kognitif memiliki kontribusi hanya sebesar 5 %. Kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi yang termasuk domain afektif memberikan kontribusi yang sangat besar yaitu 80 %. Sedangkan kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spatial dan kecerdasan musikal yang termasuk dalam domain psikomotor memberikan sumbangannya sebesar 5 %
Namun, dalam praxis pendidikan di Indonesia yang tercermin dalam proses belajar-mengajar dan penilaian, yang amat dominan ditekankan justru domain kognitif. Domain ini terutama direfleksikan dalam 4 kelompok mata pelajaran, yaitu bahasa, matematika, sains, dan ilmu-ilmu sosial. Domain psikomotor yang terutama direfleksikan dalam mata-mata pelajaran pendidikan jasmani, keterampilan, dan kesenian cenderung disepelekan. Demikian pula, hal ini terjadi pada domain afektif yang terutama direfleksikan dalam mata-mata pelajaran agama dan kewarganegaraan.
Agar penekanan dalam pengembangan ketiga domain ini disesuaikan dengan proporsi sumbangan masing-masing domain terhadap sukses dalam pekerjaan dan kehidupan, para guru perlu memahami pengertian dan tingkatan tiap domain serta bagaimana menerapkannya dalam proses belajar-mengajar dan penilaian.
Perubahan paradigma pendidikan dari behavioristik ke konstruktivistik tidak hanya menuntut adanya perubahan dalam proses pembelajaran, tetapi juga termasuk perubahan dalam melaksanakan penilaian pembelajaran siswa. Dalam paradigma lama, penilaian pembelajaran lebih ditekankan pada hasil (produk) dan cenderung hanya menilai kemampuan aspek kognitif, yang kadang-kadang direduksi sedemikian rupa melalui bentuk tes obyektif. Sementara, penilaian dalam aspek afektif dan psikomotorik kerapkali diabaikan.
Dalam pembelajaran berbasis konstruktivisme, penilaian pembelajaran tidak hanya ditujukan untuk mengukur tingkat kemampuan kognitif semata, tetapi mencakup seluruh aspek kepribadian siswa, seperti: perkembangan moral, perkembangan emosional, perkembangan sosial dan aspek-aspek kepribadian individu lainnya. Demikian pula, penilaian tidak hanya bertumpu pada penilaian produk, tetapi juga mempertimbangkan segi proses.
Kesemuanya itu menuntut adanya perubahan dalam pendekatan dan teknik penilaian pembelajaran siswa. Untuk itulah, Depdiknas (2006) meluncurkan rambu-rambu penilaian pembelajaran siswa, dengan apa yang disebut Penilaian Kelas.


Apa yang Harus Dilakukan Guru dalam Mengembangkan Silabus?
1. Bagaimana merumuskan indikator berdasarkan materi pembelajaran?
Indikator merupakan penanda pencapaian kompetensi dasar yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Indikator dikembangkan sesuai dengan karakteristik peserta didik, mata pelajaran, satuan pendidikan, potensi daerah dan dirumuskan dalam kata kerja operasional yang terukur dan/atau dapat diobservasi. Indikator digunakan sebagai dasar untuk menyusun alat penilaian.
Indikator merupakan Kompetensi Dasar yang lebih spesifik. Apabila serangkaian indikator dalam satu Kompetensi Dasar sudah dapat dicapai oleh siswa, berarti target Kompetensi Dasar tersebut sudah terpenuhi.
Untuk merumuskan indikator perlu diperhatikan:
Mengacu pada kompetensi dasar dan materi pembelajaran
Kata kerja operasional sama atau lebih rinci dari kata kerja operasional pada kompetensi dasar
Tiap kompetensi dasar bisa dibuat tiga atau lebih indikator
Cakupan lebih sempit dibanding kompetensi dasar
Cakupan materi lebih sedikit dibanding dengan standar kompetensi.
Tiap indikator dapat dibuat tiga atau lebih butir soal
Perbendaharaan kata kerja operasional yang beragam akan sangat membantu guru dalam merumuskan indikator berdasarkan kompetensi dasarnya.

2. Bagaimana merancang asesmen pembelajaran berdasarkan indikator pembelajaran?
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. enilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri.
Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.
Hakikat pola penilaian yang dikembangkan dalam Kurikulum yang berbasis kompetensi lebih diarahkan pada pengukuran yang seimbang pada ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, serta menggunakan prinsip berkesinambungan dan autentik guna memperoleh gambaran (profiles) keutuhan prestasi dan kemajuan belajar siswa.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian.
a. Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensi.
b. Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
c. Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik.
d. Pemilihan bentuk penilaian dalam silabus, seperti: penilaian tertulis (paper and pencil), produk (product), unjuk kerja (performance), proyek (project), dan portofolio (portfolio) harus memperhatikan kemampuan-kemampuan yang dapat mendorong kemampuan penalaran dan kreativitas siswa serta sesuai dengan ciri khas dari mata pelajaran yang bersangkutan.
e. Penulisan bentuk penilaian harus disertai dengan aspek-aspek yang akan dinilai sehingga memudahkan dalam pembuatan soal-soalnya.
f. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan, dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan.
g. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara, maupun produk/hasil melakukan observasi lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan.
h. Penilaian mengacu kepada tujuan dan fungsi penilaian, misalnya pemberian umpan balik, pemberian informasi kepada siswa tentang tingkat keberhasilan belajarnya, memberikan laporan kepada orang tua.
i. Penilaian mengacu kepada prinsip diferensiasi, yakni memberikan peluang kepada siswa untuk menunjukkan apa yang diketahui, yang dipahami, dan mampu dilakukannya.
j. Penilaian tidak bersifat diskriminasif (tidak memilih-milih mana siswa yang berhasil dan mana yang gagal dalam menerima pembelajaran).
Perlu dipertegas tentang penilaian dalam arti asesmen dan penilaian dalam arti evaluasi.
§ Penilaian dalam arti Asesmen merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar siswa baik perorangan maupun kelompok yang diperoleh melalui pengukuran. Tujuannya untuk menganalisis atau menjelaskan unjuk kerja/prestasi siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang terkait, dan mengefektifkan penggunaan informasi untuk mencapai tujuan pendidikan
§ Penilaian dalam arti evaluasi merupakan serangkaian kegiatan penilaian keseluruhan program mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan. Misalnya, evaluasi dari program yang meliputi kurikulum, asesmen, pengadaan dan peningkatan guru, manajeman pendidikan, dan reformasi pendidikan.








Jumat, 17 Februari 2012

PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA


PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA
PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER

A. Hakikat Pendidikan Karakter
Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila; keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Sumber: Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025).
fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Sumber: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional --UUSPN).

Atas dasar apa yang telah diungkapkan di atas, pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.

Berdasarkan alur pikir pada Bagan 1 di atas, pendidikan merupakan salah satu strategi dasar dari pembangunan karakter bangsa yang dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara koheren dengan beberapa strategi lain. Strategi tersebut mencakup: sosialisasi atau penyadaran, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerjasama seluruh komponen bangsa. Pembangunan karakter dilakukan dengan pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga, satuan pendidikan, pemerintah, masyarakat sipil, anggota legislatif, media massa, dunia usaha, dan dunia industri (Sumber: Buku Induk Pembangunan Karakter, 2010).

B. Tujuan, Fungsi dan Media Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Pendidikan karakter berfungsi (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan ummat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni.
Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.


C. Nilai-nilai Pembentuk Karakter
Satuan pendidikan sebenarnya selama ini sudah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional satuan pendidikan masing-masing. Hal ini merupakan prakondisi pendidikan karakter pada satuan pendidikan yang untuk selanjutnya diperkuat dengan 18 nilai hasil kajian empirik Pusat Kurikulum. Nilai prakondisi yang dimaksud seperti: keagamaan, gotong royong, kebersihan, kedisiplinan, kebersamaan, peduli lingkungan, kerja keras, dan sebagainya.
(Siswa SMP melakukan kegiatan di sawah bersama penduduk untuk melatih kebersamaan, peduli lingkungan, kerja keras, dan gotong royong)

Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter pada satuan pendidikan telah teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli Lingkungan, (17) Peduli Sosial, (18) Tanggung Jawab (Sumber: Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009:9-10).
Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangannya untuk melanjutkan nilai-nilai prakondisi yang telah dikembangkan. Pemilihan nilai-nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui analisis konteks, sehingga dalam implementasinya dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan antara satu sekolah dan atau daerah yang satu dengan lainnya. Implementasi nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai-nilai yang esensial, sederhana, dan mudah dilaksanakan, seperti: bersih, rapi, nyaman, disiplin, sopan dan santun.

Implementasi Nilai-Nilai

Sehubungan dengan hal tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada puncak peringatan Hardiknas di Istana Negara (Selasa, 11 Mei 2010) mengutarakan:
”…Saudara-saudara, kalau saya berkunjung ke SD, SMP, Saudara sering mendampingi saya, sebelum saya dipresentasikan sesuatu yang jauh, yang maju, yang membanggakan, Saya lihat kamar mandi dan WC-nya bersih tidak, bau tidak, airnya ada tidak. Ada nggak tumbuhan supaya tidak kerontang di situ. Kebersihan secara umum, ketertiban secara umum. Sebab kalau anak kita TK, SD, SMP selama 10 tahun lebih tiap hari berada dalam lingkungan yang bersih, lingkungan yang tertib, lingkungan yang teratur itu ada values creation. Ada character building dari segi itu. Jadi bisa kita lakukan semuanya itu dengan sebaik-baiknya….”





D. Proses Pendidikan Karakter
Proses pendidikan karakter didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosiokultural pada konteks interaksi dalam keluarga, satuan pendidikan serta masyarakat. Totalitas psikologis dan sosiokultural dapat dikelompokkan sebagaimana yang digambarkan dalam Bagan 3 berikut:
RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KARAKTER
1.       OLAH PIKIR
Gigih, cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif
2.       OLAH HATI
beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik
3.       OLAH RASA/KARSA
ramah, saling menghargai, toleran, peduli, suka menolong, gotong royong, nasionalis, kosmopolit , mengutamakan kepentingan umum, bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja
4.       OLAH  RAGA
Bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigihcerdas